Pandangan pertama

Tempat baru, mulai beradaptasi.
Lingkungan baru, semangat baru.

Seem's like familliar, but hard to get it.

Memulai "kehidupan" baru di kota lain, yang awalnya tidak terduga, dimana semuanya serba sendiri. Tanpa ada bantuan. Karena, ketika kita sudah diterima di perguruan tinggi, berarti kita sudah siap untuk konsekuensinya. Seperti masalah keuangan, waktu, lingkungan, teman, dan lain-lain.

Ketika kaki menginjakan di tempat yang baru, di pikiran banyak rencana. Kemanakah aku setelah ini, apa yang harus kulakukan disini, jalan-jalan kemana aku, makan dimana aku, dan sebagainya. Kita pun berangkat tidak dengan tangan kosong, pasti ada "oleh-oleh" dari orang tua, bahkan keluarga. Seperti orang kaya, nyatanya tidak. Kita memegang uang yang tujuannya bukan cuma hiburan semata. Namun uangnya sebagai tujuan kita datang kesana. Itulah dilema dari seorang mahasiswa baru.

Aku pun berpikir, apa iya setiap bulan dikirim? Yang artinya kita meminta uang saku. Yang artinya, di setiap awal bulan itu nafsu kian menjadi. Mau kemanakah aku, mau jajan apa aku, dan lain-lain. Namun setelah belajar dari bulan lalu. Bagaimana kita mengatur keuangan. Janganlah memenuhi gaya demi gengsi, niscaya kamu akan menyesal di kemudian hari. Senangnya di awal, sakitnya di akhir.

Apalagi dalam aspek pertemanan, dimana merekalah yang biasanya menghasut, bahkan memeras keuangan kita tanpa sadar atau dengan cara halus. Dunia pertemanan bukanlah sekadar canda tawa, melainkan kita harus pintar memilih teman. Karena, teman baik belum tentu baik, dan juga teman buruk belum tentu buruk. Dunia memang kejam. Seperti gunting dalam lipatan. Kadang yang buruk lebih baik daripada yang baik lebih buruk.

Begitulah, hidup.

-Pandangan pertama-

Komentar